Jakarta (ANTARA News) - Adakah hubungan olahraga, atau lebih tepatnya Asian Games, dengan diplomasi? Tentu saja ada. Teramat banyak malah.

Olahraga justru telah menjadi kekuatan apolitik dalam mana para aktor politik --baik nasional maupun internasional-- memengaruhi pola hubungan intranasional dan internasional.

Jauh sebelum manusia mengenal konsep negara-bangsa, negara kota-negara kota pada era Yunani kuno yang selalu bertempur satu sama lain, reguler berkomunikasi antarmereka dalam event sport berbungkus religi yang kemudian mengilhami apa yang kita kenal sekarang dengan Olimpiade.

Teladan Yunani kuno itu berlanjut ke era modern ketika olahraga menjadi alat diplomasi ampuh dalam meretas jalan harmoni. 

"Diplomasi pingpong" pada 1971 yang mengawali pembukaan hubungan diplomatik Amerika Serikat-China, "diplomas hoki" pada 1972 yang meretas harmoni Kanada-Uni Soviet pada era Perang Dingin, dan "diplomasi kriket" pada 2011 yang menjadi katalisator perbaikan hubungan geopolitik Pakistan-India, adalah contoh-contohnya.

Event besar olah raga juga menjadi kesempatan untuk mengabarkan pesan rekonsiliasi kepada dunia.

Contoh untuk itu adalah saat Jerman Barat dan Jerman Timur pada era Perang Dingin turun sebagai satu tim pada Olimpiade 1956 di Melbourne, Olimpiade 1960 di Roma dan Olimpiade 1964 di Tokyo. Dua Korea mengikuti inisiatif Jerman itu dengan berdefile bersama dalam pembukaan Olimpiade 2000 di Sydney dan Olimpiade 2004 di Athena. Dan termutakhir adalah Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang yang mengawali pembalikan besar dalam hubungan dua Korea.

Olahraga dan event-event besar olah raga seperti Asia Games yang edisi tahun ini digelar di Jakarta dan Palembang, bulan depan, juga menjadi cara negara-negara menunjukkan siapa mereka di teater global, menaikkan prestise internasionalnya dan menguatkan aspek soft-power mereka.

Negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang tak lama lagi akan menggantikan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi tradisional dunia, adalah contoh paling aktual untuk hal itu.

Semua negara BRICS, juga Korea Selatan, pernah menjadi tuan rumah event-event olah raga besar yang mereka manfaatkan untuk menaikkan prestise dan status internasionalnya, selain mempromosikan pencapaian-pencapaian besar mereka, terutama ekonomi.

Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016, Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018, India menjadi tuan rumah Commonwealth Games 2010, Afrika Selatan menjadi tuan rumah  Piala Dunia 2010, sedangkan China menjadi tuan rumah Olimpiade 2008 dan Oimpiade Musim Dingin 2022 mendatang.

Indonesia bisa mengikuti BRICS dengan memanfaatkan Asian Games 2018 sebagai medium untuk memamerkan pencapaian-pencapaian besar bangsa Indonesia kepada dunia, tidak saja dalam olah raga, namun juga ekonomi, budaya, sosial, dan politik, dengan tujuan hampir sama dengan apa yang telah dicapai China dan negara-negara di atas itu. 

5.000 peliput dari 45 negara, ditambah 150.000 turis asing, tentu saja tidak hanya ingin mengabarkan dan menyaksikan apa yang bakal terjadi di gelanggang olah raga, namun juga mengenai bagaimana atlet seluruh Asia bisa bertanding dan berlomba dengan nyaman dan aman selama Asian Games 2018.

Konsekuensinya mereka datang untuk turut menikmati, mencerap, dan mengalami bagaimana Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas olah raga, sistem akomodasi dan transportasi, sampai pelayanan atlet.

Ketika mereka menyimpulkan betapa megah, modern, tertata, berbudaya, dan profesionalnya Indonesia dalam menyelenggarakan Asian Games, maka mereka pasti akan mencari tahu mengapa Indonesia bisa melayani peserta Asian Games 2018 dengan semodern, seprofesional, seteratur dan seburbadaya seperti yang mereka bayangkan dan harapkan, bahkan mungkin jauh lebih besar dari ekspektasi mereka.

Jika sudah pada kesimpulan itu, maka mereka akan mencari tahu bagaimana aspek-aspek fundamental dalam modernitas telah dibangun Indonesia. 

Ketika konsentrasi sudah beralih kepada bagaimana Indonesia membangun dirinya, maka itu akan menyangkut bagaimana Indonesia membangun ekonominya, bagaimana Indonesia menata kehidupan politiknya karena keteraturan juga berkaitan dengan pranata politik, bagaimana Indonesia merawat dan memajukan kehidupan sosial budayanya, dan bagaimana Indonesia memajukan sektor pariwisatanya. 

Jika kesimpulan para wartawan dan turis asing itu positif, paling tidak menjadi catatan kaki bahwa apa yang terjadi Palembang dan Jakarta nanti bisa menjadi benchmark mengenai bagaimana seharusnya negara-negara lain menyelenggarakan event serupa, maka itu akan menjadi gerbang untuk apresiasi besar dunia kepada apa yang sudah terjadi di Indonesia, entah itu olah raga, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pariwisataa.

Jika citra sudah begitu positif, maka akan lebih mudah bagi Indonesia untuk menarik perhatian ekonomi dunia, khususnya banjir investasi dan wisatawan asing.

China adalah contoh aktual mengenai bagaimana event besar olah raga dimanfaatkan sebagai medium dalam menghapus semua citra buruk tentang China sehingga dunia menoleh dan menyanjung China ketika mereka sukses menggelar Olimpiade 2008. Tidak itu saja, proyeksi diplomasi China juga menjadi jauh melewati spektrum pengaruhnya dibandingkan dengan sebelum ini.

Untuk itu, Anda akan salah jika hanya menaksir insentif ekonomi yang bisa didapatkan dari citra positif dari keberhasilan menyelenggarakan Asian Games karena citra positif itu juga akan meluber ke sektor-sektor lain, seperti politik, bahkan postur dan profil diplomasi.

Kesimpulan yang diharapkan dari sukses Asian Games nanti adalah terbangunnya citra Indonesia yang maju, siap dan stabil yang pada level berikutnya akan membuat dunia menganggap Indonesia siap memainkan peran sentral dalam banyak matra kehidupan global. 

Bukan hal mustahil, dari Asian Games nanti dunia menganggap Indonesia yang mapan, modern, dan stabil, telah siap melangkah untuk memainkan peran lebih luas dan lebih besar lagi dalam mengurusi dunia, termasuk menegakkan keadilan, meninggikan kesetaraan, memajukan dialog, dan melanggengkan harmoni serta perdamaian dunia.

Olah raga memang harus dipisahkan dari politik, tetapi tak haram mengambil insentif besar dari sukses olah raga untuk sektor-sektor di luar olah raga, termasuk politik dan diplomasi yang tentu saja mencakup pula diplomasi ekonomi dan dagang.

Dan jika semua berjalan sepositif yang diharapkan semua elemen bangsa, maka Indonesia bisa segera mencoba merelasikan citra positif Asian Games nanti itu dengan perjuangan diplomasi Indonesia, tidak saja untuk Indonesia tetapi juga untuk perdamaian dunia, apalagi Indonesia tengah menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

Pewarta:
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2018