Oleh Gilang Galiartha
"Tinggi. Gede. Jago," demikian Pelatih Kepala Tim Nasional Bola Basket Putra Indonesia, Fictor Roring, menggambarkan kriteria pemain naturalisasi yang diharapkan bisa diperoleh untuk memperkuat timnya.
Hal itu disampaikan pelatih yang akrab disapa Ito itu selepas Indonesia menelan kekalahan pada laga pamungkas Asian Games 2018, menyerah 66-84 di tangan Jepang pada Jumat, 31 Agustus di Istora Senayan, Jakarta.
Pemain naturalisasi yang tinggi, gede dan jago, seolah menjadi "mantra" yang begitu diyakini Ito amat ampuh untuk membuat basket putra Indonesia bisa bersaing di tingkat Asia.
Ito bahkan meyakini bahwa jika pemain naturalisasi semacam itu tak kunjung datang sebelum keikutsertaan pada Asian Games 2022 di Hangzhou, China, serta Piala Dunia FIBA 2023 di Filipina-Indonesia-Jepang, bisa jadi Indonesia hanya akan menjadi tim pelengkap turnamen semata dalam dua ajang tersebut.
"Ini olahraganya the giant. Itu harus diakui. Kalian lihat kemarin Korea itu kurang jago apa, tapi lawan Iran kalau orang bilang mereka mati manis. Gak bisa jalan semua karena tinggi-tinggi yang jaga, di-cover semua," ujar Ito.
Ito merujuk pada laga semifinal bola basket putra Asian Games 2018 antara Korea Selatan menghadapi Iran, yang berakhir dengan kemenangan Iran, kendati pada awalnya Korsel lebih diunggulkan lantaran penampilan krusial nan dominan dari pemain naturalisasi asal Amerika Serikat, Ricardo Ratliffe.
Ratliffe, yang memiliki tinggi badan 2,03 meter mendapat pengawalan ketat dari pilar Iran jebolan NBA, Hamed Ehdadi, yang berpostur setinggi 2,18 meter. Akhirnya, meskipun Ratliffe tetap membukukan double-double 37 poin dan 12 rebound, namun ia tak sekalipun memperoleh offensive rebound, yang praktis membuat barisan penembak tripoin Korsel lebih ragu-ragu ketika melepaskan percobaan, selain karena penjagaan ketat yang juga mereka alami sendiri.
Secara rata-rata postur tubuh, memang roster Iran berada pada urutan kedua dengan rataan 1,98 meter hanya kalah dari China, yang akhirnya memenangi partai final kontra Iran demi meraih medali emas basket putra Asian Games 2018.
Ito juga menyebutkan bahwa hal serupa dialami Chinese Taipei, tim yang begitu percaya diri atas permainan basket mereka namun tetap terbentur Tembok China yang tinggi postur tubuhnya tiada tara.
"Jadi bukan cuma kita, Korea, Chinese Taipei juga merasakan seperti itu," kata Ito.
"So, sangat krusial ke depannya kita bisa mendapatkan pemain yang tinggi. Itu evalusasi saya dari pelatih timnas kalau kita mau bersaing. Belum bicara menang ya, bersaing dulu, itu harus dapat," ujarnya menambahkan.
Indonesia memang menjadi tim dengan rata-rata tinggi badan roster terpendek di antara tim-tim yang melaju ke delapan besar basket putra Asian Games 2018, dengan rataan 1,89 meter dan hanya satu pemain melampaui 2 meter yakni Muhammad Dhiya Ul`haq dengan 2,03 meter namun itu pun tak banyak memberikan kontribusi berarti bagi tim dalam ajang tersebut.
Basket putra Indonesia akhirnya hanya menempati peringkat kedelapan turnamen, usai kalah dari Jepang yang hanya menyisakan delapan pemain tersisa di dalam roster-nya menyusul skandal indisipliner yang membuat empat pemain dipulangkan.
Capaian itu bahkan dikalahkan oleh tim putri yang berhasil mengalahkan Mongolia demi merebut tempat ketujuh.
Kendati demikian, Indonesia kini memiliki dua tiket untuk kembali berlaga di cabang olahraga bola basket Asian Games 2022 di Hangzhou, China. Kini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mempersiapkan cara terbaik memanfaatkan tiket itu nantinya.
Baca juga: Parade serba terbaik dari bola basket
Baca juga: Ringkasan hasil bola basket, China tegaskan diri sebagai penguasa Asia
Jam terbang menanti naturalisasi
Sementara perkara naturalisasi pemain, kata Ito, seluruhnya bergantung pada negosiasi dan langkah pihak Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi), di luar itu ada yang penting untuk dilakukan yakni menambah jam terbang para pemain.
Bagi Ito, komposisi roster basket putra Indonesia yang tampil di Asian Games 2018 sudah mendapatkan hasil maksimal yang bisa didapatkan.
Pasalnya, ia meyakini bahwa para pemain lokal juga sudah memiliki kemampuan yang cukup oke namun lagi-lagi semuanya terbentur pada persoalan postur tinggi badan ketika menghadapi tim yang dihuni "raksasa".
"Kalau ngomong skill sebenarnya kita cukup oke, kita ngomong ada Ius (Xaverius Prawiro), Pras (Andakara Prastawa Dhyaksa), Arki (Arki Dikania Wisnu), Kaleb (Kaleb Ramot Gemilang), Koming (Ponsianus Nyoman Indrawan)," kata Ito.
"Tapi ya itu, terlalu kecil untuk di level Asia," ujarnya menambahkan.
Oleh karena itu, Ito mengakui jam terbang menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan lagi untuk tetap menjaga bahkan menghasilkan sosok di luar nama yang sudah ada demi memperkuat timnas basket putra.
Soal liga misalnya, Ito mengakui bahwa Liga Bola Basket Indonesia (IBL) saat ini perlu ditambah jumlah pertandingannya dalam semusim dari angka 17 kali.
"Lebih bagus lagi ditambah dari 17 match semusim. Saya setuju itu. Sebenarnya dari jangka waktu kita main enam bulan kadang-kadang lebih, tapi sedikit gimnya, kurang padat, mungkin bisa dipadatin sekarang terlalu banyak libur," ujarnya.
Di luar kompetisi lokal yang harus dipadatkan, Ito tengah merintis upaya untuk menambah jam terbang bagi timnas basket putra, salah satunya dengan menemui Presiden Asosiasi Bola Basket China (CBA) Yao Ming di Jakarta di sela-sela Asian Games 2018.
Sehari setelah pertemuan yang digelar Jumat (31/8), Ito mengungkapkan bahwa Yao Ming menyambut baik ide-ide yang diajukan pihak Indonesia meski belum ada keputusan positif.
Beberapa opsi yang diajukan adalah dengan mengikutsertakan timnas Indonesia dalam turnamen pramusim CBA Summer League atau menggelar pemusatan latihan berjangka di China.
"Ya belum ada keputusan, tapi kita coba lah," kata Ito.
Musim panas lalu, China mengirimkan timnas putra mereka ke turnamen pramusim NBA Summer League dan timnas putrinya ke WNBA Summer League. Hasilnya, mereka sukses mengawinkan medali emas basket putra dan putri.
Tentu keikutsertaan dalam turnamen pramusim di liga-liga yang lebih kompetitif tidak serta merta jadi jaminan untuk peningkatan prestasi, tapi dipastikan akan menunjang upaya tersebut.
Harapan untuk tetap membuat timnas tetap sibuk juga diungkapkan oleh kapten tim, Arki Dikania Wisnu, yang berharap kesibukan persiapan timnas yang dirasakan jelang Asian Games 2018 akan tetap bertahan di masa-masa mendatang.
"Misalnya setelah SEA Games 2019 kan tidak ada apa-apa, jangan sampai tidak ada aktivitas apapun, misalnya training camp. Kalau iya hilang jam terbang. Kalian tidak bisa mengharapkan ada lompatan prestasi kalau jeda itu benar-benar diam," kata Arki.
Turnamen terdekat yang harus dihadapi adalah SEA Games 2019 di Manila, Filipina, pada November tahun depan, yang artinya Indonesia masih memiliki waktu sekira 14 bulan untuk mempersiapkan diri.
Baik itu dalam bentuk CBA Summer League, pemusatan latihan ataupun keikutsertaan di kompetisi multinasional, jam terbang itu tentunya harus tetap digali sembari menunggu mantra Ito mewujud dalam diri seorang pebasket naturalisasi yang tinggi, gede dan jago.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2018