Oleh Meidyatama Suryodiningrat
Apa persamaan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Serangan Tet oleh pasukan Vietnam tahun 1968, Olimpiade Beijing 2008, dan Piala Dunia Rusia yang baru saja berlalu?
Dan kecuali para penggila sepakbola, kebanyakan orang 20 tahun lagi akan tertegun saat ditanya “Siapa juara Piala Dunia 2018?”.
Alat utama dari elemen Soft Power adalah diplomasi publik. Suatu pendekatan halus yang meyakinkan masyarakat dan memberikan pengaruh akan kebenaran dan keabsahan tujuan kita.
Kalau zaman dahulu lawan atau kawan dipaksa dengan ancaman kekuatan untuk menerima pandangan tertentu, hubungan internasional saat ini lebih mengedepankan cara-cara persuasif sehingga dengan alami kita bisa mendapatkan pengakuan akan apa yang kita inginkan.
Ini adalah suatu strategi yang Kementerian Luar Negeri pun sudah mengakui, kesadaran bahwa memenangkan hati dunia tidak bisa diraih dengan kaku, namun dengan diplomasi yang luwes dan bersahabat. Prinsip “bebas dan aktif” adalah pedoman utama namun kreatifitas dan inovasi adalah bumbu penyedap yang menambah cita rasa berdiplomasi.
Olimpiade Beijing menjadi etalase agar dunia melihat China sebagai negara maju dan terbuka. Piala Dunia Rusia memberikan kesan progresif dan bersahabat terhadap suatu negara yang diterangai oleh Barat dipimpin oleh seorang diktator kaku.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Joseph Nye, seorang profesor Havard University pencetus konsep Soft Power, bahwa propaganda terbaik bukanlah propaganda dan aset yang paling berharga bukanlah kekuatan militer, tapi kredibilitas.
Indonesia adalah negara besar dengan potensi militer yang luar biasa. Namun dalam sejarahnya ketegasan dan pendekatan kemanusiaan menjadi instrumen utama karakter diplomasi Indonesia. Baik itu keterlibatan dalam pasukan keamanan PBB, Gerakan Non-Blok, perjuangan mewakili kepentingan dunia ketiga dan sebagainya, integritas Republik Indonesia tidak dipertanyakan.
Tapi bayangkan saja, nama kota Palembang, Sumatera, yang tidak pernah dikenal oleh dunia akan menjadi rujukan bagi seluruh warga Asia selama Agustus mendatang.
Pada tahun 2012 Komite Olimpiade Asia telah menepatkan bahwa Asian Games ke-18 akan diadakan di Hanoi tahun 2019. Tapi pada April 2014, Perdana Menteri Nguyen Tan Dung mengumumkan pengunduran diri Vietnam sebagai tuan rumah. Indonesia kemudian terpilih, dan bahkan mempercepat pelaksanaan Asian Games satu tahun karena adanya pemilu tahun depan.
Untuk bisa mengejar kesiapan Asian Games dalam tempo yang serba dipercepat saja sudah suatu keberhasilan. Untuk kemudian menjamu 16,000 atlet dan ofisial dari 45 negara Asia dalam kondisi yang serba "emergency akan dipandang dunia sebagai suatu yang luar biasa!
Tepat satu bulan kemudian Bali akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF dan World Bank. Pertemuan ini akan mendatangkan para pengambil keputusan ekonomi dunia. Dipilihnya Indonesia sebagai tuan rumah adalah sebuah indikasi pengakuan kedua badan tersebut akan arah pembangunan nasional.
Kesemua ini adalah diplomasi publik tingkat tinggi. Suatu kampanye positif yang menunjukkan dan memberi pengakuan Indonesia sebagai bangsa yang maju, mampu, kreatif, dan inovatif walau dihadapkan dengan berbagai kendala dan situasi yang untuk negara lain menjadi penghalang.
Maka kalau kita masih sinis terhadap berbagai ikhtiar ini, kita harus sadar bahwa di saat dunia akan mengalungkan emas penghargaan kepada Indonesia, justru orang Indonesia sendiri yang tidak bisa memuliakan dan bangga terhadap karyanya sendiri.
Pewarta: -
Editor: Sapto HP
COPYRIGHT © ANTARA 2018