Dalam hitungan pekan menjelang pembukaan Asian Games 2018, ikhtiar memperindah Ibu Kota bisa disaksikan siapa pun yang sedang melintas sepanjang jalan Sudirman-Thamrin Jakarta.

Trotoar dilapangkan, ditata dalam beragam motif disain. Sepanjang jalur pejalan kaki, disisakan lahan tepiannya, dibentuk dalam petak-petak taman bunga.

Tanaman bunga yang setinggi lutut orang dewasa baru ditancapkan, disangga bambu sebelum akar-akarnya sanggup menahan batang dari terpaan angin yang berembus. Semoga dalam tiga pekan, bambu-bambu penahan tanaman hias itu bisa dilepas.

Sedikitnya, taman-taman bunga di sisi jalur pejalan kaki itu menambah daya estetika yang akan ditatap ribuan pasang mata tamu mancanegara yang datang di Jakarta mengikuti perhelatan olahraga akbar itu.

Kecantikan lanskap jalan raya jantung Ibu Kota itu diharapkan akan menjadi bagian penting yang terekam sebagai impresi di benak para pengunjung Jakarta dari mancanegara sepanjang Sea Games 2018 berlangsung.

Namun, Jakarta bukan cuma lintasan sepanjang Sudirman-Thamrin. Di luar kawasan yang masih menyisakan puing-puing bekas pengerjaan jalur transportasi bawah tanah itu, problem estetika Ibu Kota justru menggunung.

Salah satu problem itu adalah sampah. Harus diakui, Jakarta ketinggalan jauh dibandingkan sejumlah kota di Nusantara, antara lain Kota Malang. Di sana, pemerintah daerah, jaringan aktivis lingkungan dan warga punya kesadaran yang tinggi dalam mengatasi problem sampah.

Jakarta perlu belajar mengelola sampah dari kota-kota lain. Karena mayoritas warga motropolitan ini tak mau repot, dari titik awal rumah tangga maupun pedagang pasar, mereka tak memilah sampah dalam kategori organik dan bukan organik.

Titik-titik pengumpulan sampah pun menghadirkan lanskap menjijikkan berupa bak-bak sampah dengan gunungan aneka limbah rumah tangga, bangkai tikus, plastik, kaleng bekas dan sebagainya. Di sekitar kawasan pasar tradisional maupun pasar modern, dengan gradasi yang berbeda, pemandangan tak sedap itu mudah ditemukan.

Apa hendak dikata jika usaha mempercantik Jakarta sepanjang perhelatan Asian Games 2018 itu tak diikuti dengan memperhatikan penanganan masalah sampah.

Masalah sampah ini sebetulnya dengan mudah bisa diatasi jika muncul kemauan politik dari pemerintah kota. Ini bukan perkara kultur yang sulit diubah. Gagasan untuk membangun pabrik pengolah sampah, dengan berinvestasi dalam bentuk pembelian mesin-mesin raksasa pengolah sampah sudah muncul sejak lama dari kalangan pegiat lingkungan hidup.

Jika aturan pelarangan merokok di tempat-tempat umum, di gedung-gudung baik milik pemerintah maupun swasta di DKI Jakarta mulai dipatuhi warga, tentu aturan tentang pemilahan sampah sejak dari rumah ke dalam kategori sampah organik dan bukan organik tentu bisa diaplikasikan.

Pada saat yang bersamaan, Pemda DKI Jakarta mulai berfokus membangun pabrik-pabrik pengolahan sampah. Nilai ekonomis pemanfaat sampah terbukti cukup menjanjikan. Dalam kelompok-kelompok pendaya guna sampah rumah tangga, seperti ditunjukkan di beberapa daerah, manfaat itu antara lain dirasakan oleh warga sendiri, yang tak perlu mengeluarkan dana untuk membayar asuransi kesehatan.

Sebab jerih payah mereka mememilah sampah rumah tangga itu diganjar dengan uang hasil olahan sampah yang mereka kumpulkan. Dengan uang itulah mereka membayar dana asuransui kesehatan keluarga.

Momentum Asian Games 2018 bisa dipakai sebagai titik awal penyadaran para elite untuk menangani problem sampah secara sistematis, masif dan berkelanjutan.

Estetika kota, yang di dalamnya tercakup kebersihan, merupakan indikator tingkat modernitas suatu bangsa. Di negara-negara yang lebih sentosa dari Indonesia seperti Singapura, aturan tentang kebersihan begitu keras.

Sejak era kepemimpinan Lew Kuan Yew, warga Singapura yang membuang sepah permen karet sembarangan bisa dikenakan hukuman. Membuang bungkus atau putung rokok juga dihukum dengan dipermalukan sebagai pekerja sosial pemungut sampah. Di Jakarta, jangankan membuang puntung atau bungkus rokok yang bisa diremas menjadi segumpal kecil sampah, membuang sebungkus nasi yang tak jadi dimakan karena basi tak diapa-apakan.

Botol-botol minuman ringan baik yang seukuran gelas maupun yang seberat 1,5 liter banyak tersua di selokan, di bawah pohon, di dekat tong sampah. Botol-botol plastik itu akan lenyap dari pemandangan ketika para pemulung menemukannya dan memasukkannya ke dalam karung atau gerobak mereka.

Sikap dan kesadaran warga terhadap sampah pula yang mengakibatkan sungai-sungai di Ibu Kota menjadi saluran air yang tercemar, berbau dan berwarga hitam seperti yang terjadi pada Kali Item, yang kini menjelang Sea Games 2018 ditutup dengan waring.

Sialnya, Kali Item itu berdekatan dengan Wisma Atlet di bilangan Kemayoran. Para atlet yang berlaga di Asian Games tentu mendapat suguhan lanskap sungai yang eksotis, dengan ide pemakaian waring sebagai tabir buat menyembunyikan wajah sesungguhnya sungai itu.

Penggunaan waring itu sempat menjadi bahan perbantahan politis di jagat maya antara kubu pendukung dan penentang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Tampaknya, di luar perdebatan pro-kontra atas pemakaian waring itu, perlulah melihatnya dari sudut pandang estetika eksperimental. Artinya, anggap saja penutupan Kali Item dengan waring raksasa itu sebagai karya seni instalasi, selain tujuan utamanya menyembunyikan residu limbah.

Pewarta:
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2018