Oleh Jafar M, Sidik


Penelitian Iowa State University pada 2010 menunjukkan event-event multicabang seperti Olimpiade telah dimanfaatkan sebagai alat menaikkan citra di mata dunia oleh negara yang menyelenggarakan event itu.

Bahkan, H. Preuss dalam "The economics of staging the Olympics: A comparison of the Games, 1972-2008" menyimpulkan, event multicabang seperti Olimpiade, telah memberi baik manfaat berwujud maupun tak berwujud kepada negara penyelenggaranya dalam jangka tujuh tahun, bahkan hingga beberapa dekade ke depan.

Itulah mengapa negara-negara berlomba menjadi tuan rumah Olimpiade. Pun dengan Asian Games, yang tahun ini diadakan di Indonesia, tepatnya Jakarta dan Palembang.

Tidak heran pula, negara-negara selalu mengikrarkan ketuanrumahan event sebesar Olimpiade atau Asian Games sebagai proyek nasional sehingga semua komponen bangsa terlibat dan dilibatkan.

Indonesia sendiri tak ingin melewatkan sebiji zarah pun manfaat event ini untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sekarang dan sudah pada level mana pencapaian nasionalnya, baik olah raga, maupun non olah raga, terutama ekonomi dan kematangan sistem nasional, termasuk politik.

Turnamen multicabang seperti Asian Games juga menawarkan peluang bisnis. Cuma sayang, ketika lari ke bisnis, nafsu monopoli lebih sering terlalu dominan, ketimbang menyebarluaskan informasi seluas mungkin.

Bayangan jumlah besar penonton yang menarik pengiklan guna mensponsori perhelatan multievent membuat event seperti Asian Games terlihat dikerangkeng oleh monopoli itu, dengan bentuk paling umumnya, "hak siar".

Tak ada yang salah dengan hak siar. Tetapi hak siar yang eksesif menciptakan paradoks, khususnya dalam hubungannya dengan hasrat negara mempromosikan keberhasilan-keberhasilan lewat media olah raga atau menyebarluaskan pesan-pesan nasional lewat atribut-atribut olah raga.

Karena tidak ada media yang paripurna dalam menyiarkan konten ke semua kalangan dan daerah, maka hak siar kadang menutup peluang mengabarkan keberhasilan-keberhasilan negara ke seluas mungkin wilayah, kepada sebanyak mungkin penduduk, dan ke sebanyak mungkin platform media tempat publik mendapatkan informasi.

Padahal, pada 3 Mei 2018 di Istana Kepresidenan Bogor, Presiden Joko Widodo, sudah mewanti-wanti, "Menjadi kewajiban kita bersama mempromosikan Asian Games menjadi sebuah perhelatan besar yang semua rakyat ini merasa memiliki."

Dengan menawarkan frasa "semua rakyat merasa memiliki", Jokowi ingin Asian Games dinikmati siapa pun di negeri ini. Dia ingin Asian Games tak hanya melulu mengenai olah raga atau maksimalisasi porsi bisnis di dalamnya, tapi juga bagaimana peristiwa ini menjadi pengalaman semua orang, dinikmati semua kalangan.

Ironisnya, hak siar kadang membatasi keinginan menjadikan event sebesar Asian Games sebagai pengalaman untuk semua orang. Padahal, ada bagian media, ada segmen pembaca, yang tak seluruhnya bisa dicakup si pemegang hak siar.

Oleh karena itu, sedikit berbagi dan melonggarkan tafsir atau batasan hak siar, adalah cara elok untuk membuat Asian Games menjadi pengalaman semua orang.   Apalagi untuk menjadi tuan rumah Asian Games lagi tahun ini Indonesia harus menunggu sampai 56 tahun lamanya.

Pewarta:
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2018