Zaenal adalah satu di antara belasan ribu volunteer dari berbagai daerah di Indonesia yang mendapat kesempatan menjadi relawan INAGOC.
Tugas yang diemban pemuda asal Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat adalah menjadi sukarelawan di VPC Paragliding, Puncak, Kabupaten Bogor, bersama 13 relawan muda lainnya.
"Tugas kami membantu memudahkan para atlet dan wartawan dalam bekerja," kata mahasiswa UPI Bandung ini.
Walau secara tertulis tugas dan kewajibannya memfasilitasi wartawan dan atlet bekerja, tetapi menjadi relawan harus bekerja 'learning by doing'. Apa saja dikerjakan demi kelancaran kegiatan.
Terkadang pemuda berwajah oriental ini mengurus keperluan logistik, membersihkan ruang media, atau mengurus dokumentasi, dan berjaga di arena sampai mukanya belang dijilat sinar matahari.
Walau pekerjaan menguras waktu dan tenaga, tetapi pemuda 22 tahun itu bersama rekan-rekannya tetap ramah melayani media, memberikan layanan terbaik, memastikan pekerjaan mereka lancar, tidak terhalang aturan, terutama di ruang media VPC Paraglaiding atau Paralayang, Puncak.
"Kerja ikhlas dan harus capek. Apalagi kami termotivasi dengan semangat Asian Games, jadilah bagian dari sejarah," katanya.
Bukanlah materi yang jadi prioritas utama Zaenal untuk mengemban tugas sebagai relawan INASGOC, tapi pengalaman dan kesempatan besar mengukir sejarah bersama Asian Games 2018.
Sebagai pemuda dari kampung kecil di Pengalengan, Zaenal ini menjadi contoh agar tetangga di tanah kelahirannya dapat termotivasi mau melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
"Motivasi ikut Asian Games adalah sebuah kebanggaan, karena ini event terbesar kedua setelah Olimpiade. Dan saya mau jadi rule model buat tetangga saya di kampung kurang memperhatikan pendidikan, jarang ada yang kuliah," kata mahasiswa Jurusan Ilmu Keolaharagaan ini.
Dengan kuliah, Zaenal dapat mengikuti berbagai kegiatan, seperti menjadi relawan di PON 2016, pertukaran pemuda bidang olahraga di Malayasia tahun 2015.
Hampir sebagian besar relawan INASGOC berasal dari kalangan kampus, mereka tidak hanya datang dari wilayah Jabodetabek, atau Pulau Jawa, bahkan ada yang rela terbang dari Batam untuk ikut menjadi relawan.
Muhammad Khalid Rosydi (23) asal Kepulauan Riau ini harus rela merogoh koceknya terbang dari Batam ke Jakarta untuk menjadi relawan INASGOC penempatan di veneu Paralayang bereama Zaenal dan kawan-kawan.
Mahasiswa Univesitas Putra Batam jurusan Manajemen ini cakap berbahasa Inggris dan Arab. Ia pun diberbantukan jadi pemandu wartawan asing dan sebagai peterjemah bagi wartawan lokal, padahal tugas utamannya adalah 'sport medal ceremony'.
Motivasi khalid menjadi relawan ingin memperluas pengalamannya, serta berharap mendapat teman baru dari dalam maupun luar negeri. Tak ayal, ia pun sudah punya teman ngobrol dari atlet China.
"Ini pengalaman pertama saya jadi LO, saya termotivasi ketika kawan di kampung jadi LO PON Riau, saya pun coba di Asian Games dan diterima," katanya.
Selama menjadi relawan banyak suka duka yang dihadapi pemuda berbadan subur ini, misalnya merasakan pengalaman tidur di veneu karena belum mendapatkan tempat tinggal sementara di Puncak.
Ia juga merasakan lebaran pertama jauh dari orang tuanya. Semua dilalui demi satu tujuan ikut menjadi bagian dari sejarah Asian Games.
Tidak hanya terpisah dengan keluarga saat Lebaran Idul Adha, merasakan harus bolos kuliah dan tidak ikut KKN juga dilakoni oleh Tri Nanda Fajar Suci Wulandari.
Mahasiswa IAIN Syeh Nuh Jati, Cirebon, asal Brebes, Jawa Timur ini lebih sibuk dari teman-teman relawan lainnya. Karena bertugas memandu wartawan asing yang datang meliput di venue.
Gadis berhijab ini sangat lancar berbahasa Inggris, sehingga banyak media asing yang terbantu oleh pelayanan darinya. Seperti memastikan keperluan mereka semua terpenuhi, mulai dari akomodisi peliputan dari landing ke take off, sesi wawancara dan kepulangan.
Dwi panggilannya, tidak merasa canggung berhadapan dengan media asing, selama di kampus, dia aktif menjadi wartawan Pressma atau press mahasiswa.
Pengalaman yang dia dapatkan selama jadi wartawan, selain bertemu wartawan lokal dan wartawan asing. Dia mengetahui cara kerja wartawan yang begitu cepat melaporkan hasil liputannya.
"Wow... Banget kak, media di sini nulisnya cepat, langsung terbit. Kalau di Pressma ada tenggat waktu terbitnya," katanya.
Suci mengaku beruntung bisa menjadi bagian dari sejarah Asian Games bersama belasan ribu relawan lainnya. Dia juga menyayangkan rekan-rekan sejawatnya yang komplain karena tidak diajak menjadi relawan.
Segala pengorbanan yang dilaluinya, bolos UTS, izin KKN, nilai anjlok, tidak masalah untuknya, karena pengalaman sebagai relawan Asian Games, jauh lebih berharga dari honor yang dia dapatkan.
"Mencari uang dengan menjadi relawan itu adalah hal terbodoh. Bertemu banyak orang, pengalaman itu tidak bisa diukur dengan uang," kata Dwi.
Poetri Mutya Indiriani mahasiswa UPN Veteran Jakarta merasa beruntung menjadi bagian dari volunteer Asian Games. Karena acara tersebut menyedot perhatian banyak orang di Asia bahkan dunia, membuat teman-teman se kampusnya menyesal tidak memenuhi ajakannya mendaftar menjadi relawan.
"Sebenarnya mereka bukan tidak diajak, sudah kami kabarin infonya, tapi mereka banyak pertimbang, takut ketinggalan kuliahlah, alasan inilah," kata Mutya.
Sama seperti Dwi, mahasiswa asal Tanggerang ini rela mengorbankan perkuliahannya menjadi relawan INASGOC. Tetapi semua alasan itu ia singkirkan dan tetap fokus bertugas menjadi relawan.
"Saran neh buat teman-teman yang merasa rugi ngak ikut jadi relawan. Hilangkan semua alasan, terlalu banyak pertimbangan. Berani mengambil kesempatan dan keputusan, jangan takut," kata Mutya.
Bukan hanya pengalaman berharga, berinteraksi dengan banyak orang di Asian, tetapi juga menemukan ide hingga mendapatkan judul untuk tugas akhir menyusun skripsi dilakoni oleh Robbani Fadhil asal Tanggerang Selatan.
Mahasiswa jurusan ilmu pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini mendapatkan judul untuk skripsinya yakni "Pengaruh Penggunaan Official Endorser/Apparel terhadap Brand Image 361° di Ajang Internasional ASIAN Games 2018. (Hegemoni Fashion)".
"Saya dapat inspirasi judul skripsi waktu di Paragliding, kerja saya kan sambil nulis 'flash quote' untuk INASGOC, di sana saya melihat merk 361° yang begitu hegemoni selama Asian Games," katanya.
Faizh panggilan akrabnya, selama ini sering dicari dosen pembimbinganya karena belum juga menyerahkan judul skripsi. Di tambah kesibukannya menjadi relawan, membuatnya jarang ke kampus.
Setelah pertandingan Paralayang selesai tanggal 29 Agustus, sebelum bertugas di GBK sampai penutupan, Faizh menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Tangsel, dan ke kampus untuk menemui judul skiripsi.
"Dosen saya sudah terima judul saya, tapi sedang pertimbangkan, karena saya belum bawa oleh-oleh Asian Games untuknya," kata Faizh tersenyum saat ditemui di MPC Asian Games di GBK.
Asian Games 2018 telah berakhir, ditutup dengan sangat spektakuler sejumlah hiburan dan akan digelar kembali tahun 2022 di Hangzhou, China.
Waki Presiden Jusuf Kalla menyebutkan, perhelatan Asian Games ke-18 Jakarta-Palembang memiliki tiga sukses, yakni sukses penyelenggaraan, sukses prestasi dan sukses pelaksanaan.***4***
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Teguh Handoko
COPYRIGHT © ANTARA 2018