Padahal, sudah lebih dari 10 tahun lalu lontaran kalimat ketus dari orang tua sahabatnya itu disemburkan tepat di wajahnya
Terlalu menyakitkan bagi dia. Ketika itu Tiwa masih berada di bangku sekolah dasar (SD) dan yatim piatu. Ibunya, yang biasa dipanggilnya 'mamak', wafat pada tahun 2006, menyusul sang ayah yang wafat lima tahun sebelumnya.
Dia menelan makian itu bulat-bulat. Sebagai seorang anak kecil, dia cukup dewasa untuk menanam sabar, meski kesedihan tidak bisa ditutupinya.
Jika sudah begitu, kakaknya bernama Ilam menjadi tempat mengadu, karena bagi Tiwa dia menjadi pengganti sang ibu. Kepada Ilam, dia mencurahkan semuanya.
"Saya memang sulit memahami pelajaran di sekolah, terutama hitung-hitungan matematika. Saya lambat berpikir ketika menghadapi angka-angka," kata anak terakhir dari tiga bersaudara itu.
Tiwa, yang memang memiliki kemampuan berpikir di bawah rata-rata, rupa-rupanya menjadi korban stigma bahwa "anak pintar adalah anak yang jago matematika dan hitung-hitungan". Ini pula yang menjadi alasan orang tua sahabatnya meragukan dia bisa menjadi orang besar di kemudian hari.
Padahal, pandangan tersebut tentu salah total. Mengukur kecerdasan hanya dari satu sisi merupakan kekeliruan jamak yang kerap terjadi di dalam pergaulan masyarakat Indonesia.
Howard Gardner, profesor pendidikan dari Universitas Harvard mengatakan setidak-tidaknya ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Selain logika matematika, salah satu kecerdasan manusia yang kerap ditepikan adalah kemampuan untuk mengendalikan tubuh atau disebut dengan "bodily-kinesthetic".
Seorang dengan keterampilan tubuh diyakini Gardner cocok menjadi seorang atlet. Kondisi inilah yang dimiliki Tiwa. Di balik daya pikirnya yang lemah, ternyata tersembunyi fisik yang kuat.
Prestasi
Tiwa lahir di Simpang Pulai, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau pada 28 Agustus 1997. Empat tahun setelah dia lahir, ayahnya meninggal dunia.
Hal itu membuat tak banyak yang bisa diingatnya dari sang ayah. Kehangatan cinta orang tua hanya dirasakannya dari ibunya, Bonang.
Dengan segala keterbatasan hidup karena dia hanya seorang penderes atau penyadap karet, Bonang merawat Basirun, Ilam (dua kakak Tiwa) dan Tiwa dengan penuh kasih sayang meski tidak lama. Tahun 2006, Bonang menghadap sang Khalik.
"Setelah itu, saya dibesarkan kakak," tutur Tiwa, yang mengenyam pendidikan formal hanya sampai SD.
Ditinggalkan orang tua membuat hidup kakak beradik itu sulit. Basirun dan Ilam menopang kebutuhan sehari-hari dengan menderes karet dengan penghasilan sekitar Rp100 ribu per minggu.
Sementara Tiwa turut membantu dengan menjadi tukang setrika pakaian di rumah orang. Dari sana, dia mengumpulkan tak lebih dari Rp50 ribu per minggu.
Namun, hidup susah ditambah tekanan mental pihak-pihak di luar tak membuat Tiwa menyerah. Segala stigma ditaklukannya dengan ketekunan mengasah diri di bidang olahraga.
Awalnya dia rutin bermain voli. Namun, tinggi badannya yang tidak mumpuni membuatnya urung melanjutkan latihan. Tiwa lalu beralih ke lari, olahraga yang memang disenanginya sejak kecil.
Dalam satu kesempatan, seorang pelatih bernama Agung Pamuji, yang kebetulan juga tinggal di Ukui, melihat bakatnya. Agung lalu mempertajam teknik dan fisik Tiwa. Hasilnya, pada tahun 2014, Tiwa bisa berlaga di tingkat provinsi.
Dianggap atlet berbakat dengan disabilitas, Tiwa pun diikutkan ke Pekan Parlimpiade Nasional (Peparnas) tahun 2016 mewakili Riau. Di sana, dia merebut medali emas, prestasi yang kemudian membawanya ke tingkat internasional.
Pencapaian itu membuatnya dilirik Komite Paralimpiade Nasional Indonesia untuk bergabung di pemusatan latihan nasional (pelatnas) menuju ASEAN Para Games 2017 di Malaysia.
Di kejuaraan multicabang olahraga disabilitas itu, Tiwa sukses mendapatkan dua medali yakni medali perak dari nomor lari 400 meter T20 putri dan perunggu dari lompat jauh T20 putri.
Kebintangannya tak bisa dihadang lagi setelahnya. Tiwa kembali masuk pelatnas, kali ini untuk Asian Para Games 2018. Di sini, dia turun di tiga nomor yakni tolak peluru F20, lari 400 meter T20 dan lari 1.500 T20.
Dan di pertandingan tolak peluru, yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Senin (8/10), dia berhasil menorehkan kejutan.
Semula bermain hanya untuk menemani Suparniyati yang tidak mau bertanding kalau Tiwa tidak ikut berlaga, Tiwa malah sukses meraup medali perunggu dengan tolakan terbaik sejauh 6,44 meter. Adapun Suparniyati berhasil mendapatkan medali emas dengan tolakan 10,75 meter.
"Tiwa kami turunkan di tolak peluru sebenarnya hanya untuk menemani Suparniyati. Jadi medali perunggunya itu di luar dugaan karena dia sebenarnya spesialis di nomor lari 400 meter dan 1.500 meter T20 putri," kata pelatih para-atletik Indonesia Purwo Adi Sanyoto.
Pundi-pundi medali Tiwa di Asian Para Games 2018 berpeluang bertambah karena dirinya masih akan berlaga di nomor lari 400 meter dan 1.500 meter T20 putri.
Melihat semua prestasinya, Tiwa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain membuat dirinya semakin terkenal dan kesejahteraan ekonomi keluarganya membaik, pencapaian-pencapaian itu juga membuat orang-orang yang menganggap remeh berbalik sikap, termasuk orang tua sahabatnya yang kerap ketus terhadap dirinya.
"Malah sekarang dia yang menegur saya terlebih dahulu kalau bertemu," tutur Tiwa.
Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2018