"Ini untuk persahabatan mumpung 43 negara berkumpul," kata seniman sketsa yang akrab dipanggil Liben itu di Jakarta, Rabu.
Liben menggunakan teknik gambar cepat (speed drawing) ketika membuat sketsa wajah dalam waktu sekitar dua menit dengan pensil.
Seniman berusia 16 tahun itu pun harus bolos sekolah untuk mewujudkan mimpinya menggambar teman-teman baru dari berbagai negara.
Liben pun sering menunggui para atlet di Para Village dan menawari mereka gambar sketsa.
"Karena saya tidak bisa bahasa Ingrris, saya cuma bilang, hello, can I draw your face?" demikian Liben ketika menawari atlet untuk menggambar.
Putri dari pasangan seniman Hariyadi Purnama dan Hidayati itu mengaku yang pertama yang dia gambar adalah atlet dari Iran.
Sejak hari pertama pagelaran Asian Para Games 2018 dibuka hingga hari Rabu, Liben sudah menggambar sedikitnya 1,600 sketsa wajah. Targetnya adalah 2.500 sketsa wajah hingga pesta olahraga atlet dengan disabilitas se-Asia itu usai pada 13 Oktober nanti.
"Waktu itu pernah menggambar atlet tuna netra. Dia meminta saya untuk menggambar wajah dan matanya. Waktu gambar tersebut diraba, dia bilang ternyata dia ganteng sampai nangis. Dia sangat senang dengan gambarnya," kata Liben.
Perempuan yang senang menggambar orang di pasar itu memiliki nama unik yang berasal dari almarhum WS Rendra.
Orang tua Liben terjun di dunia teater dan pantomim memang mengenal dekat sang almarhum sastrawan Indonesia itu.
Liben mengaku belajar menggambar secara otodidak. Mulai dari hobinya main ke pasar untuk menggambar nenek-nenek yang berjualan hingga tukang becak.
"Wajah itu kata orang paling susah digambar, paling susah karakternya. Kalau di pasar, karakternya keluar semua mulai tukang becak, penjual jeruk," kata Liben.
Liben suka mampir ke pasar sebelum jam pelajaran sekolah dan usai belajar di sekolah. Jam empat pagi dia bisa main ke pasar hanya untuk mencari objek gambar sebelum melanjutkan belajar di sekolah yang tidak jauh lokasinya.
Teknik menggambar cepat menjadi kesukaan Liben. "Saya suka gambar nenek-nenek. Kalo ngga cepat, dagangannya keburu ga laku," kata Liben polos.
Di usia yang sangat muda, Liben memiliki bakat menggambar yang alami.
Sejak SD, dia sudah suka menggambar dan sering mendapat pujian dari guru gambarnya.
Ketika masih balita, si Liben kecil tidur dengan telapak tangan yang memegang kapur. "Dulu menggambarnya pakai kapur. Kadang orang tua saya mengikat tangan saya yang menggenggam kapur ketika saya tidur," ingat Liben.
Mungkin hal itu ada andil dalam perkembangan bakat seni si Liben kecil.
Di kampung halamannya di Klaten, merintis suatu wadah bagi seniman jalanan di Klaten yang dinamai Ruang Publik Lima Benua.
Bersama para seniman daerah, Liben pernah juga menggelar Klaten Biennale tahun lalu.
Biennale adalah pameran seni kontemporer yang diadakan dua tahun sekali.
Liben akan melanjutkan misinya menyebarkan pesan persahabatan di Asian Para Games 2018 yang akan berakhir tiga hari lagi.
Tentang para atlet dengan disabilitas, Liben mempunyai kesan yang mendalam selama perjalanannya di Asian Para Games 2018.
"Mereka itu jangan dikasihani, tapi dimengerti. Kita harus mengerti kalau mereka itu bisa, mereka itu sama dengan kita," kata Liben.
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Junaydi Suswanto
COPYRIGHT © ANTARA 2018