Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan

Jakarta  (ANTARA News) - Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, menjadi saksi Nur Ferry Pradana yang langsung tumbang sambil memegangi lutut kanannya sesaat setelah mencapai garis "finish". 

Kamis (11/10) sekitar pukul 18.40 WIB, atlet para-atletik  Indonesia berusia 23 tahun tersebut melambai-lambaikan tangan tanda tak sanggup menahan nyeri. Saat itu, Nur Ferry dipastikan meraih medali perak di nomor lari  400 meter T45/46/47 putra.

Tak sampai lima menit, kira-kira enam sampai tujuh orang sukarelawan (volunteer)  berdatangan. Mereka membawa satu brankar atau ranjang dorong medis untuk membawa Ferry ke ruang perawatan.

"Semangat, Ferry," kata beberapa pewarta yang kebetulan berada di zona wawancara atau 'mixed zone'. Sementara Ferry, tetap  meringis sambil didorong oleh para volunteer.

Sekitar 20 menit sebelum kisah itu terjadi, atlet para-atletik lainnya dari Indonesia Eko Saputra juga mendapati situasi serupa. Begitu menyelesaikan pertandingan di nomor lari 400 meter T12 putra, dia berjalan terpincang-pincang menuju ruang ganti.

Tangannya tak lepas dari paha kanan. Namun, tak seperti Nur Ferry, Eko masih sanggup membeberkan sakitnya.

"Saat 100 meter terakhir paha saya seperti tertarik. Saya paksakan saja dan ternyata berhasil mendapatkan peringkat ketiga. Ini sesuai dengan target saya di 400 meter," tutur Eko.

Saat merasakan sakit di lintasan, dia berkisah, posisinya di belakang pemimpin lomba tersusul oleh pelari Vietnam Pham Nguyen Khanh Minh. Eko terkejut.

Akan tetapi, mendengar teriakan dukungan dari penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno, semangatnya bangkit. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Eko berhasil mempertahankan kecepatan larinya dan sukses meraih perunggu.

"Sebenarnya memang sakit, tetapi saya percaya saya bisa," tutur anak pertama dari tiga bersaudara itu.

Eko sendiri mendapatkan dua medali. Selain perunggu di nomor lari 400 meter T12 putra, dia meraup medali perak di nomorlari 400 meter T45/46/47 putra.


Bangkit

Dengan langkah goyah karena lututnya bermasalah, Nur Ferry Pradana mendatangi para pewarta usai menerima pengalungan medali perak.

Sambil tersenyum, dia menyalami satu persatu pewarta sambil mengucapkan terima kasih. Setelah itu, baru dia berkabar mengenai kondisi kakinya.

"Lutut kanan ini memang sudah bermasalah sejak mengikuti Asian Para Games 2018. Saat bertanding sakit, setelah dikompres dan dirawat sakitnya hilang. Lalu kalau turun lagi, kembali sakit. Makanya setelah Asian Para Games mau dirontgen," tutur atlet asal Tenggarong, Kalimantan Timur tersebut.

Meski merasakan nyeri hampir sepanjang Asian Para Games 2018, Nur Ferry sukses menaklukkan tantangan. Dia sukses melampaui target dengan mendapatkan dua medali perak yaitu di nomor lari 100 meter dan 400 meter T45/46/47 putra. 

Jika Eko dan Nur Ferry bertahan dari segala tekanan dan berhasil keluar, itu bukanlah kejutan. Sebab, sebagai seorang difabel, mereka sudah menelan berbagai pandangan negatif sejak kecil.

Eko Saputra, misalnya. Penglihatannya menjadi terbatas dengan jarak pandang sekitar tiga meter sudah dialaminya sejak ia duduk di kelas 5 sekolah dasar (SD) Negeri Bertingkat Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Ketika itu, saat bermain bersama teman-temannya di malam hari, dia berlari menabrak pohon kelapa dan kepalanya terbentur. Setelah itu, kualitas pandangannya menurun drastis.

Kesedihan tentu saja dirasakannya. Akan tetapi dia bangkit berkat dukungan kedua orang tua. Sekitar lima bulan setelah peristiwa memilukan itu, Eko mengikuti lomba lari tingkat SD dan meraih peringkat kedua. 

Dari sana, dia berkeinginan kuat untuk menjadi pelari, seperti tokoh pahlawan super hero kesukaannya, 'Flash'.

"Lomba itulah yang menjadi titik balik saya. Saya semakin percaya diri dan ingin berlari secepat Flash. Saya terus berlatih dan akhirnya berpartisipasi dalam banyak pertandingan sampai saat ini bisa mewakili negara di Asian Para Games 2018," tutur Eko.

Begitu pula Nur Ferry yang sejak lahir tidak memiliki tangan yang tumbuh sempurna. Sempat mengalami perundungan (bullying) di masa kanak-kanak, tidak membuat Ferry lantas menyerah dengan keadaan.

Justru pandangan-pandangan remeh orang lain dijadikannya sebagai motivasi untuk meraih prestasi. Apalagi, dia menyadari keluarga terdekat selalu memberikannya dukungan, termasuk dari pihak sekolah dan sahabatnya.

Harapan menjadi kenyataan, Nur Ferry pun tumbuh sebagai anak kuat secara fisik dan mental, yang mengantarkannya sampai kini menjadi atlet para-atletik tingkat Asia.

Diselingi tawa kecil, Nur Ferry Pradana mengutarakan mimpinya di masa depan. Mimpi serupa yang dicita-citakan pula oleh Eko Saputra dan seluruh atlet dengan disabilitas: "Saya ingin bertanding di Paralimpiade....".

Apa yang dilalui Eko dan Nur Ferry, juga mungkin seluruh atlet Asian Para Games 2018, merupakan lantunan kisah tentang upaya menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Pantang menyerah, berani, percaya diri, tangguh dan terus bekerja keras menjadi bumbu utama di balik perjalanan para atlet dengan disabilitas. Sebab hanya dengan itu, prestasi yang dinanti tiba seiring berjalannya hari-hari. 

Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2018