Jakarta  (ANTARA News) - Hidup baru mulai di umur 40. Pepatah mahsyur itu mendadak terlintas di kepala ketika menjumpai Iberamsyah, seorang atlet para-renang Indonesia yang tetap bergairah berkompetisi di usianya yang sudah kepala empat.

Semangat Iberamsyah patut diacungi jempol. Pasalnya, atlet kelahiran 12 Agustus 1974 itu pantang menyerah menyelesaikan lomba walaupun finis di posisi buncit.buncit.

Setelah menyelesaikan babak final nomor 100 meter gaya bebas putra S11 Asian Para Games 2018 di Jakarta, Senin malam itu, dengan nafas terengah-engah Iberamsyah digandeng sang pelatih menuju kolam sebelah untuk pendinginan.

Para penonton yang memadati tribun Stadion Akuatik Gelora Bung Karno malam itu pun bersorak dan bertepuk tangan untuk Iberamsyah.

Di usia yang menginjak angka 44, Iberamsyah menjadi salah satu atlet para-renang tertua Indonesia yang menjadi inspirasi di tengah kompetisi yang bertabur atlet-atlet muda.

Selesai melakukan pendinginan, Iberamsyah dengan mengenakan jaket kebesaran timnas para-renang Indonesia duduk di pinggir kolam renang dan menceritakan kisahnya.
Atlet para-renang Indonesia Iberamsyah usai berlatih di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (8/10). (Antaranews/Aditya E.S. Wicaksono)

Sosok Iberamsyah sudah sejak lama berkecimpung di dunia renang. Sebelum menjadi atlet pelatnas para-renang, Iberamsyah sudah membela daerah asalnya, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di berbagai kejuaraan, salah satunya dengan menggondol tiga medali emas di Porcanas.

Di Banjarmasin, Iberamsyah muda dulu bekerja sebagai penjaga kolam renang serta menjajakan makanan bagi pengunjung kolam renang.

Iberamsyah dilahirkan memiliki mata normal, namun sekitar tahun 2000, dia mulai kehilangan penglihatannya.

"Mula-mula mata sebelah kiri, kemudian saya berobat. Kata dokter itu katarak," kenang Iberamsyah.

Karena terbentur biaya operasi, Iberamsyah mencoba pengobatan alternatif dan tradisional untuk mata kirinya.

Iberamsyah tidak tahu sebab-musabab matanya mengalami gangguan penglihatan. Kecurigaannya tertuju kepada rutinitasnya ketika membersihkan air kolam renang.

Cara membersihkan air kolam renang yang praktis adalah menggunakan klorin. Zat klorin atau kaporit sudah digunakan secara luas untuk membunuh bakteri di dalam air.

Sebagai penjaga kolam, Iberamsyah sering melakukan kontak langsung dengan klorin. "Ketika mengaduk bubuk klorin, mungkin asapnya masuk ke mata," kata dia.

Bermula dari mata kiri, gangguan penglihatan itu merembet ke mata sebelah kanan Iberamsyah, hingga pada akhirnya dia kehilangan total penglihatannya dalam rentang waktu dua tahun.

Iberamsyah kehilangan penglihatannya ketika usia pernikahannya baru berumur dua tahun.

Waktu itu Iberamsyah dan istri baru saja dikaruniai putri pertamanya. Iberamsyah ingat dia masih sempat melihat wajah putri pertamanya Fitri Noviani yang masih bayi.

"Lama kelamaan saya tidak bisa melihat lagi. Tapi saya sempat melihat wajah anak saya. Sedih juga, ada kecewa sedikit," kata dia.

Delapan tahun kemudian, Iberamsyah mendapat sebuah tawaran yang mungkin menjadi titik balik kehidupannya.

Di tahun 2008 dia bertemu dengan seorang pelatih renang di Banjarmasin yang menawarinya berlomba.  Sejak tahun itu pula, Iberamsyah masuk ke pelatnas atlet para-renang Indonesia.

Dengan fungsi kedua mata yang sudah tidak sempurna, Iberamsyah harus beradaptasi dengan teknik baru sebagai atlet para-renang.

Dia menguasai semua gaya, tapi belum pernah turun ke kolam dengan kondisinya yang tak bisa melihat.

"Awal berenang ya sering terbentur tali lintasan," ingat dia.

"Kita berlatih, menemukan hasil maksimal kita di gaya mana. Lalu perbaiki tekniknya," kata Iberamsyah.

Di samping kesibukkannya sebagai atlet para-renang, Iberamsyah memiliki bakat lain sebagai tukang pijat di kampung halamannya.

Dia ingat ketika itu pertama kali bergabung di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan di Kalimanan Selatan untuk belajar teknik memijat.

Pengalaman bergabung di panti untuk tuna netra itu memberikan kesan yang mendalam bagi Iberamsyah.

"Pas masuk panti, kok banyak sekali tuna netra. Saya jadi tidak kecil hati, oh... ternyata banyak orang yang tuna netra seperti saya," ungkap laki-laki yang dulu bercita-cita jadi Pegawai Negeri Sipil itu.

Berbekal ketrampilan memijit yang diturunkan oleh orang tuanya, serta latihan di PSBN Fajar Harapan, kini Iberamsyah memiliki klinik pijat Sumber Cahaya Sehat, yang dia buka di rumahnya yang beralamat di Jalan Simpang Ulin I RT14 RW33 Banjarmasin Tengah.

"Belum memiliki karyawan, masih saya sendiri yang tangani pasien," kata dia.

Ketika turun di kolam, Iberamsyah yang berpembawaan kalem itu tidak bisa dianggap enteng. Buktinya ketika mengikuti ASEAN Para Games 2015 Singapura, dia menggondol medali perunggu di nomor 100 meter gaya bebas S11.

Setelah Asian Para Games 2018,  ayah dari dua anak itu masih ingin membela Indonesia di ajang ASEAN Para Games 2019 nanti di Filipina.
Atlet para-renang Indonesia Iberamsyah usai berlatih di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (12/10). (Antaranews/Aditya E.S. Wicaksono)


Pelatih pelatnas renang paralimpik Indonesia Bhima Kautsar mengaku sangat terkesan dengan semangat Iberamsyah.

Di ajang paralimpik, tidak ada batasan usia atlet yang bertanding.

Tim Jepang misalnya, menurunkan sedikitnya empat atlet para-renang yang berusia di atas 40 tahun, antara lain Mayumi Narita (48), Hiroshi Hosokawa (47), Yukihito Kumeta (52) dan Erika Nara (41).

Kemudian ada dua atlet Kazakhstan, Zulfiya Gabidulina (52), dan Natlaya Zvyagintseva (42).

"Selama mampu dan berprestasi mereka akan tetap bisa ikut," kata Bhima.

Yang membuat salut sang pelatih adalah para atlet yang sudah tak lagi muda itu mampu memperbaiki prestasi.

"Menjadi juara itu gampang, tapi memecahkan rekor pribadi itu sulit. Yang paling penting adalah mengalahkan diri sendiri," kata Bhima.
 

Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2018