Jakarta (ANTARA News) - Tanah airku Indonesia/ Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur/ Pulau kelapa yang amat subur/ Pulau melati pujaan bangsa/ Sejak dulu kala
Melambai lambai....

Lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki menggema di Stadion Gelora Bung Karno malam itu, 4 September 1962, saat upacara penutupan Asian Games IV.  Liriknya yang menyanjung Tanah Air dengan alunan nada yang syahdu ternyata mampu menyentuh kalbu. Tidak hanya atlet Indonesia saja yang terpaku,  para atlet dari 17 negara yang berpartisipasi pun turut merasakan haru.

Setelah 12 hari para atlet bertanding sejak 24 Agustus 1962, malam itu mereka melepaskan semua beban dalam suasana penuh keakraban.

Lagu Rayuan Pulau Kelapa yang bercerita tentang keindahan Indonesia memang sengaja dipilih untuk memberi kesan mendalam bagi para peserta Asian Games, seperti yang ditulis berita bertajuk "'Rajuan Pulau Kelapa' akan melepas peserta Asian Games"  di halaman utama Koran Merdeka edisi 4 September 1962.

Sebagaimana acara pembukaan yang dikemas dengan balutan pertunjukan seni dan budaya Indonesia, acara penutupan Asian Games IV juga tidak melupakan pesan untuk menyampaikan kekayaan dan keragaman budaya nusantara. Kali ini keragaman itu terutama diwakili oleh lagu-lagu daerah.

Menurut Amin Rahayu, sejarawan dari Direktorat Sejarah Kemendikbud kepada Antara, panitia Asian Games IV memang memanfaatkan momentum acara penutupan pesta olahraga itu untuk mengememukakan tentang kekayaan dan keragaman budaya Indonesia.

"Pada upacara penutupan Asian Games 1962, lagu daerah dimunculkan. Sebelumnya para atlet dan ofisial dibagikan cenderamata berupa vinyl, jam tangan, dan pin. Vinyl ini berisi puluhan lagu-lagu daerah termasuk lagu Rayuan Pulau Kelapa," katanya. 

"Lagu-lagu daerah yang menginspirasi, syahdu, dan merdu membuat penonton saat itu terharu," tambah Amin yang meneliti soal Asian Games 1962 dan menuangkannya dalam buku Asian Games IV 1962, Motivasi, Capaian, serta Revolusi Mental dan Keolahragaan di Indonesia.

 
Medali emas Indonesia pada Asian Games 1962 yang dipamerkan di Museum Nasional dalam pameran sejarah Asian Games 1963 yang bertajuk "Olahraga dan Pembangunan Etos Bangsa: Energi yang tak Pernah Padam" (Aubrey Kandelila Fanani)


Suasana semakin menggetarkan hati karena lampu di stadion GBK dipadamkan, sementara terang berpendar dari nyala obor-obor yang mengelilingi lapangan. Asap yang membumbung menambah dramatis suasana malam itu.

Para atlet dari negara-negara di Asia berkumpul di tengah lapangan, dikelilingi sekitar 100.000 penonton yang memenuhi bangku tribun stadion.

Malam semakin syahdu. Lagu perpisahan "Auld Lang Syne" yang dinyanyikan rombongan koor berkumandang memenuhi angkasa Senayan.

Should auld acquaintance be forgot/and never brought to mind?/Should auld acquaintance be forgot/and auld lang syne?/

(Should old acquaintance be forgot/and never brought to mind/Should old acquaintance be forgot/and old lang syne?_Red)

For auld lang syne, my jo/
For auld lang syne/
We'll tak' a cup o' kindness yet/
For auld lang syne/

(For auld lang syne, my dear/
For auld lang syne/
We'll take a cup of kindness yet/
For auld lang syne/_Red)

Para atlet dan penonton kemudian ikut menyanyikan lagu tersebut.

"Auld Lang Syne" memang terasa begitu pas untuk menutup malam perpisahan yang penuh kebersamaan itu. Lagu yang liriknya berasal dari sebuah puisi Skotlandia karya Robert Burns pada tahun 1788 silam, meninggalkan jejak kenangan romantisme di Senayan.

"Adalah merupakan detik-detik menggetarkan hati pada saat berpisah ini khususnya bagi olahragawan-olahragawan Asia yang selama 12 hari Asian Games berlangsung telah bergaul begitu rapat dan satu sama lain telah membangun jembatan persahabatan juga," demikian dikutip dari bunyi tulisan Koran Merdeka.

Begitu lah pesta olahraga merayakan perbedaan. Meskipun saat itu masih banyak pemberontakan dimana-mana, tetapi olahraga mampu menyatukan bangsa-bangsa.


Baca juga: Cara Soekarno populerkan lagu Indonesia di Asian Games 1962

Baca juga: Mengenang Acara Pembukaan Asian Games 1962



 
Cenderamata Asian Games 1962 berupa piringan hitam, jam tangan, dan pin yang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta. (ANTARA News/Monalisa)


Kebersamaan


"Keberadaan Asian Games 1962 juga menjadi penyemangat dan penyatuan semua daerah di Indonesia. Asian Games 1962 menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah negara besar dan pantas dihormati," jelas Amin.

Menurut Amin, Asian Games 1962 juga semakin memperkokoh persatuan Indonesia karena melibatkan semua provinsi di Indonesia.

Dalam upacara pembukaan maupun penutupan, penampilan seni dan budaya dari berbagai daerah disajikan untuk menambah kemeriahaan serta memperkenalkan beragam Nusantara kepada kontingen dari berbagai negara.

"Semua gubernur di Indonesia dilibatkan. Beda Asian Games dulu dengan sekarang, dulu acara milik semua provinsi walau penyelenggaraannya di Jakarta. Kalau sekarang kan cuma melibatkan empat gubernur. Sedangkan dulu, gubernur dari 20-an provinsi memberikan tampilan terbaik," tutur Amin.

Barisan musik dengan seragam putih masuk lapangan mendahului barisan bendera Merah-Putih yang dibawa oleh prajurit-prajurit AMN dan Coward.

Defile peserta-peserta Asian Games IV disambut meriah oleh penonton. Barisan tuan rumah yang berpakaian jas abu-abu serta celana putih menutup defile.

Upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera AGF dengan iringan lagu Patriot Paripurna dan disusul dengan pengibaran bendera merah putih dengan lagu Indonesia Raya.

Bendera terakhir yang dikibarkan adalah bendera negara Muangthai (sekarang Thailand), yang akan menjadi tuan rumah Asian games ke-lima pada tahun 1966.

Asian Games 1962 pun berakhir, meninggalkan kesuksesan dan kesan menawan. Indonesia menjawab semua pandangan sebelah mata dengan penyelenggaraan yang membuka mata, bahwa Indonesia patut diperhitungkan.

Kini warisan tersebut menjadi pedoman perhelatan Asian Games 2018 yang akan berakhir dalam hitungan hari, yakni Minggu 2 September mendatang, untuk memberikan pancaran Energi Asia. 

Baca juga: Nurtiah, kembali ke GBK mengenang Asian Games 1962

Baca juga: Menghadirkan kembali kenangan Asian Games 1962

Pewarta:
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2018