Tak tanggung-tanggung kurang lebih Rp 665 miliar digelontorkan untuk membangun velodrome di Rawamangun, Jakarta Timur itu agar memenuhi standar internasional.
Hasilnya, Jakarta International Velodrome yang menuai berbagai pujian internasional.
"Saya kira fasilitas ini adalah salah satu yang terbaik di dunia, saya tidak bergurau.... Ini adalah awal bagi kalian. Kalian punya fasilitas, kalian punya talenta dan kalian punya sumber daya. Apa yang kalian butuhkan sekarang adalah dukungan dari pusat balap sepeda dunia (WCC)," ungkap Sekjen konfederasi balap sepeda Asia ACC Onkar Singh di Jakarta Selasa (28/8).
Omongan Singh bukannya tanpa alasan, karena Asian Games 2018 merupakan kali pertama bagi Indonesia untuk menggelar perlombaan balap sepeda track level dunia.
Lagipula, tak banyak masyarakat yang paham aturan dari berbagai disiplin balap track yang dilombakan di Veldorome karena memang benar-benar menjadi mainan baru di Indonesia bahkan bagi sejumlah atlet balap sepeda Indonesia sendiri.
"Agak bingung soalnya kan pertama kali, juga ini pertama kali ikut Asian Games," kata Liontin Evangelina Setiawan yang turun di disiplin madison putri bersama Ayustina Delia Priatna.
Sang pelatih pun memaklumi dan tidak memasang target khusus di madison yang baru pertama kali dilombakan tak hanya di Indonesia namun juga di level Asia Tenggara itu.
Pebalap Indonesia pun sangat minim pengalaman balapan track karena kali pertama mereka ikut lomba balapan track yaitu di SEA Games 2017 di Malaysia.
"Persiapan kami mepet, tapi bisa lihat hasil mereka, seperti Ayu ini kan pertama kalinya semua bagi anak-anak. Benyamin van Aert juga turun untuk pertama kalinya. Jadi mereka ini pengalamannya luar biasa, turun sekali langsung di Asian Games," kata pelatih kepala timnas sepeda Indonesia Dadang Haris Purnomo.
Bahkan sepeda khusus balapan track mereka pun baru datang dan bisa dipakai satu bulan sebelum Asian Games 2018 mulai.
Dengan segala keterbatasan fasilitas maupun pengalaman, atlet balap sepeda Indonesia pun tak gentar meladeni kekuatan-kekuatan besar Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, Kazakhstan maupun Uzbekistan.
Bahkan Ayustina, pebalap Indonesia berusia 20 tahun itu, memiliki peluang besar merebut medali perunggu jika saja dia bisa lebih cepat dari pebalap Chinese Taipei Ting Ying Huang di final perebutan tempat ketiga disiplin 3000m individual pursuit putri.
"Sebenarnya tidak ada kepikiran sama sekali masuk final apalagi tadi start sama Korea yang memegang rekor. Pokoknya tidak usah drop, yang penting pecahin rekor diri sendiri dulu, tidak ada pikiran untuk menang atau gimana," ungkap Ayustina usai perlombaan.
Setelah memiliki Jakarta International Velodrome sebagai kandang timnas sepeda, PB ISSI pun memiliki ambisi untuk menyiapkan pebalap Indonesia agar bisa berlomba di level dunia.
Arena velodrome itu pun sudah dilirik oleh induk organisasi olahraga sepeda dunia UCI sebagai kandidat pusat latihan satelit mereka ketika Direktur pusat balap sepeda dunia WCC UCI Frederic Magne berkunjung ke velodrome pada Selasa (28/8).
"Saya datang ke sini untuk mengevaluasi fasilitas ini dan sejauh ini saya benar-benar terkesan dengan semua fasilitas yang ada," ungkap Magne.
Magne pun akan melaporkan hasil evaluasi tersebut ke presiden UCI David Lappartient dan kemungkinan akan membuat rekomendasi agar Jakarta menjadi pusat latihan satelit WCC.
Kalau jadi, Indonesia akan diuntungkan karena sains olahraga akan bisa berjalan sempurna karena 100 persen akan didukung oleh WCC seperti silabus dan pelatih-pelatih asing yang akan didatangkan ke Jakarta.
"Secara tidak langsung efeknya bagi Indonesia akan berdampak bagi kemajuan pelatih dan juga atletnya," kata Dadang.
Di Asia, WCC saat ini sudah memiliki tiga satelit yaitu di Jepang, Korea Selatan dan India.
Bisa dilihat kemajuan pebalap sepeda dari negara-negara yang memiliki WCC satelit itu ketika berlomba di Asian Games 2018.
Korea Selatan merebut empat medali emas, tiga perak dan empat perunggu di nomor balapan track. Sedangkan Jepang membawa pulang dua emas, tiga perak dan empat perunggu.
"Frederic adalah tujuh kali juara dunia, kalau dia suka dengan track kita, berarti memang track kita benar-benar bagus," kata ketua umum PB ISSI Raja Sapta Oktohari.
Atlet balap sepeda Indonesia sudah menunjukkan performa mereka di level Asia, dan mampu menyumbangkan dua medali emas, satu perak dan dua perunggu dari nomor sepeda gunung dan BMX setelah 56 tahun.
"Sekarang treknya sudah ada, prestasinya sudah ada, alat-alatnya sudah ada, tinggal kita bikin lomba sebanyak mungkin," kata Okto.
Sejumlah rencana perlombaan pun akan digelar di Jakarta International Velodrome, seperti Asia Track Championship pada Januari tahun depan.
Kemudian setelah itu, PB ISSI sudah mengusulkan kepada sejumlah negara untuk menggelar Asian Track Series dan mendapat tanggapan positif dari mereka.
Walaupun demikian, Okto pun tak memungkiri kalau Indonesia kekurangan atlet balap sepeda track.
Di balapan track Asian Games 2018, satu pebalap bisa turun di dua hingga tiga disiplin perlombaan karena belum ada spesialisasi dan keterbatasan jumlah atlet.
Seperti misalnya Ayustina yang turun di tiga disiplin endurance yaitu omnium, 3.000m individual pursuit dan madison.
"Sekarang bagaimana kita bisa punya atlet kalau sepedanya aja baru punya. Itu analoginya," kata Okto.
Dengan menggandeng sejumlah pihak seperti Pengprov, komunitas sepeda, maupun pihak swasta, arena velodrome bisa menjadi tuan rumah berbagai lomba balap sepeda track untuk menambah jam terbang maupun ajang pencarian bibit-bibit berbakat nantinya.
Okto mempunyai target tiga tahun dari sekarang pebalap sepeda Indonesia bisa bermain di level dunia. "Saya cukup optimis," kata dia.
Asian Games 2018 ini pun seakan menjadi momentun bagi kebangkitan balap sepeda Indonesia dengan catatan harus memperbanyak jumlah kompetisi ke depan dan program pembinaan yang berkesinambungan.
"Sekarang velodrome ini rumah kita," pungkas Okto.
Oleh Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2018